Category: | Books | |
Genre: | Literature & Fiction | |
Author: | Various |
Penerbit
Kompas memang bisa dijadikan jaminan untuk karya indah. Tak heran,
salah satu sahabat terobsesi untuk membuat cerpen yang bisa dimuat di
harian Kompas (berjuang terus yah, sist). Karena, banyak hal-hal yang
terjadi di sekeliling kita diangkat di sini, mulai dari hal-hal yang
mistis, spiritual, budaya dan adat kebiasaan masyarakat.
Semisal kisah andalan "Salawat Dedaunan" karya Yanusa Nugroho. Berkisah tentang sebuah surau yang jarang sekali digunakan untuk berjamaah. Di depan surau tersebut berdirilah sebuah pohon besar yang daunnya selalu berguguran. Kondisi tersebut selalu begitu, hingga kedatangan seorang nenek tua dengan misi memohon pengampunan dari Sang Pencipta.
Kisah-kisah berbalut mistis pun masih bisa disajikan dengan indah. "Kunang-kunang di Langit Jakarta" karya Agus Noor menyuguhkan romantisme dengan ending yang surealis. Pun sajian yang sama dengan "Biografi Kunang-kunang" karya Sungging Raga (sumpah, ini nama penanya apik). Penggambaran kunang-kunang sebagai sosok serangga yang membawa harapan mampu menyajikan twist yang apik.
Ranah budaya juga ikut diobok-obok. Karya yang cukup satir namun (mungkin) kenyataannya memang seperti itu nampak pada "Ikan Kaleng" karya Eko Triono. Kecanggihan jaman yang masih belum menyentuh sebagian masyarakat di Indonesia Timur ini bisa juga dijadikan sindiran untuk pemerintah (yang katanya) ingin menyama ratakan pendidikan. IMO sih tapi hehehhehe
"Pakiah dari Pariangan" karya Gus TF Sakai juga menyindir fenomena pengemis di Indonesia. Pengemis-pengemis yang "menyamar" menjadi orang suci dan meminta derma kepada orang lain. Namun, di lain pihak, Gus TF Sakai juga menuturkan bahwa pada awalnya, orang-orang suci tersebut memang mengharap derma, namun untuk tujuan yang berbeda.
Beberapa kisah yang agak personal, bisa ditemukan dalam "Nenek" karya Lie Charlie. Mungkin di Indonesia ini enggak umum ada nenek yang seperti itu, namun mungkin ada juga yang punya. Buat gw sih ini cukup sebagai wacana aja hehehhe *apeu??*
******
Secara garis besar, 20 karya dalam buku ini sungguh djempolans. Ada yang berpendapat bahwa cerpen-cerpen di sini sedikit melankolis namun "gelap". Tapi, gaya bertutur dan eksekusi akhirnya, sungguh gak bisa diremehkan. Bahkan tim dewan juri sendiri dalam pembukanya menjelaskan, proses pemilihan judulnya juga rumit dan tidak sederhana (makanya ada dua judul cerpen yang digunakan sebagai judul buku) Ini cukup unik mengingat selama ini Kumpulan Cerpen Kompas umumnya mengambil dari satu judul cerpen saja.
Esai menarik disampaikan oleh Radhar Panca Dahana, dimana di sini bisa gw kutip :
" Inilah masa di mana tercipta dan terjadinya "bharatayudha" baru dalam peradaban manusia, ketika karya-karya bestseller berhadapan dengan puisi yang kian miskin, blog dan twitter berhadapan dengan jurnal-jurnal tradisional, kebebasan individual vs e-books, kertas dan pena vs teks-teks digital, komersialisasi vs spirit romantik dan seterusnya. Inilah masa di mana -- menurut juragan kritik sastra jamn ini -- Terry Eagleton, dalam salah satu babonnya, After Theory (2003), "the golden age of cultural theory is long past"." Dengan kata lain komersialisasi karya, terutama prosa, membuat para pelajar dab penikmat sastra tidak lagi memiliki keinginan untuk mengetahui hal-hal yang abstrak dan idealis. Hal itu bisa ditengok dari banyaknya sastra pop yang populer saat ini. Enggak terlalu banyak bikin mikir, enteng dan (kadangkala) tanpa kesan setelah membaca.
Semoga buku ini mampu menandai kebangkitan sastra Indonesia yang (dulu pernah) indah.
Semisal kisah andalan "Salawat Dedaunan" karya Yanusa Nugroho. Berkisah tentang sebuah surau yang jarang sekali digunakan untuk berjamaah. Di depan surau tersebut berdirilah sebuah pohon besar yang daunnya selalu berguguran. Kondisi tersebut selalu begitu, hingga kedatangan seorang nenek tua dengan misi memohon pengampunan dari Sang Pencipta.
Kisah-kisah berbalut mistis pun masih bisa disajikan dengan indah. "Kunang-kunang di Langit Jakarta" karya Agus Noor menyuguhkan romantisme dengan ending yang surealis. Pun sajian yang sama dengan "Biografi Kunang-kunang" karya Sungging Raga (sumpah, ini nama penanya apik). Penggambaran kunang-kunang sebagai sosok serangga yang membawa harapan mampu menyajikan twist yang apik.
Ranah budaya juga ikut diobok-obok. Karya yang cukup satir namun (mungkin) kenyataannya memang seperti itu nampak pada "Ikan Kaleng" karya Eko Triono. Kecanggihan jaman yang masih belum menyentuh sebagian masyarakat di Indonesia Timur ini bisa juga dijadikan sindiran untuk pemerintah (yang katanya) ingin menyama ratakan pendidikan. IMO sih tapi hehehhehe
"Pakiah dari Pariangan" karya Gus TF Sakai juga menyindir fenomena pengemis di Indonesia. Pengemis-pengemis yang "menyamar" menjadi orang suci dan meminta derma kepada orang lain. Namun, di lain pihak, Gus TF Sakai juga menuturkan bahwa pada awalnya, orang-orang suci tersebut memang mengharap derma, namun untuk tujuan yang berbeda.
Beberapa kisah yang agak personal, bisa ditemukan dalam "Nenek" karya Lie Charlie. Mungkin di Indonesia ini enggak umum ada nenek yang seperti itu, namun mungkin ada juga yang punya. Buat gw sih ini cukup sebagai wacana aja hehehhe *apeu??*
******
Secara garis besar, 20 karya dalam buku ini sungguh djempolans. Ada yang berpendapat bahwa cerpen-cerpen di sini sedikit melankolis namun "gelap". Tapi, gaya bertutur dan eksekusi akhirnya, sungguh gak bisa diremehkan. Bahkan tim dewan juri sendiri dalam pembukanya menjelaskan, proses pemilihan judulnya juga rumit dan tidak sederhana (makanya ada dua judul cerpen yang digunakan sebagai judul buku) Ini cukup unik mengingat selama ini Kumpulan Cerpen Kompas umumnya mengambil dari satu judul cerpen saja.
Esai menarik disampaikan oleh Radhar Panca Dahana, dimana di sini bisa gw kutip :
" Inilah masa di mana tercipta dan terjadinya "bharatayudha" baru dalam peradaban manusia, ketika karya-karya bestseller berhadapan dengan puisi yang kian miskin, blog dan twitter berhadapan dengan jurnal-jurnal tradisional, kebebasan individual vs e-books, kertas dan pena vs teks-teks digital, komersialisasi vs spirit romantik dan seterusnya. Inilah masa di mana -- menurut juragan kritik sastra jamn ini -- Terry Eagleton, dalam salah satu babonnya, After Theory (2003), "the golden age of cultural theory is long past"." Dengan kata lain komersialisasi karya, terutama prosa, membuat para pelajar dab penikmat sastra tidak lagi memiliki keinginan untuk mengetahui hal-hal yang abstrak dan idealis. Hal itu bisa ditengok dari banyaknya sastra pop yang populer saat ini. Enggak terlalu banyak bikin mikir, enteng dan (kadangkala) tanpa kesan setelah membaca.
Semoga buku ini mampu menandai kebangkitan sastra Indonesia yang (dulu pernah) indah.
wayanlessy wrote on Aug 5
Makasih buat reviewnya ya Dan..menggoda untuk dicari niy.
|
wayanlessy said
Makasih buat reviewnya ya Dan..menggoda untuk dicari niy.
Monggo dicari, Mbak
Ini masih baru soalnya, baru rilis bulan ini :) |
anazkia said
Jiyah, gak bacaBerarti ini cerpen terbaik 2011? Owh, ada salah satu tulisan anak SMU #katanya
iyaaa....dikumpulkan dari tahun 2011.
Yang mana yang tulisan anak SMU? Di sini kebanyakan master-nya sastra Indonesia. Ada Seno Gumira Ajidarma, Triyanto Triwikromo, Gus TF Sakai, Sori Siregar sampai penulis populer jaman sekarang macam Avianti Armand, Andrei Aksana (sisanya aku enggak kenal) -- IMO aja ya inii -- :> |
darnia said
iyaaa....dikumpulkan dari tahun 2011.Yang mana yang tulisan anak SMU? Di sini kebanyakan master-nya sastra Indonesia. Ada Seno Gumira Ajidarma, Triyanto Triwikromo, Gus TF Sakai, Sori Siregar sampai penulis populer jaman sekarang macam Avianti Armand, Andrei Aksana (sisanya aku enggak kenal) -- IMO aja ya inii -- :>
Salah
satu temen FB, lolos cerpennya, Mbak. N dia nulis status kalau salah
satu cerpen itu ada tulisan anak SMU (yang sekarang baru masuk
universitas) lali jenenge sopo
|
wayanlessy wrote on Aug 5
owkeh! pulkam bentar lagi, moga2 sempet ke toko buku *kudu harus musti disempet sempetin!*
|
wayanlessy said
owkeh! pulkam bentar lagi, moga2 sempet ke toko buku *kudu harus musti disempet sempetin!*
Aamiin, semoga nemu ya, Mbak
(dan jangan lupa direpiu hahahahha) |
anazkia said
Ini tahun berapa, Mbak?Saya suka cerpen2 di Kompas Sayangnya jarang baca :( Mbak Dan, beliin lagi donk hiks
bukunya baru muncul tahun 2012, Mbak Anaz. Terbitan perdana Juni 2012.
Kalo cerpennya sendiri semuanya dari tahun 2011 dan dimuat di harian Kompas. Kalau enggak sempat baca, ada versi digitalnya : http://cerpenkompas.wordpress.com/ Kalau nitip buku, nunggu Book Fair aja, Mbak Anaz :D nanti bisa dapet segambreng dengan harga murah kayak kemaren hahahahah Ditunggu resensi yang kemaren yaaaaa :-* |
lafatah said
Kira-kira apa ya keunikan dua judul cerpen di atas yang dijadikan judul buku?Apakah karena mewakili keseluruhan cerita? Atau karena memang judulnya yang unik dan menggugah selera? :) Selebihnya, saya mau banget membaca kumcer ini :)
di pembukanya sempat disinggung sih, Bradernya Mbkdhe...
Mending Brader baca sendiri saja, soalnya eman-eman kalo aku tulis semua di sini hahahaa *gaya misterius* Met baca ya, Braderrrrr |
lafatah said
Benar, Mbak Anaz.Kalo tak salah, ada anak SMU yang kini sudah kuliah, yang cerpennya dimuat dalam buku ini. Maksudnya, waktu cerpennya dimuat di Kompas, ia masih SMU. ketika dinobatkan karyanya sebagai salah satu cerpen terbaik di buku ini, ia sudah menginjak bangku kuliah :)
berarti antara Stefanus Doni Jaya sama Sungging Raga tuh :D
|
lafatah said
Benar, Mbak Anaz.Kalo tak salah, ada anak SMU yang kini sudah kuliah, yang cerpennya dimuat dalam buku ini. Maksudnya, waktu cerpennya dimuat di Kompas, ia masih SMU. ketika dinobatkan karyanya sebagai salah satu cerpen terbaik di buku ini, ia sudah menginjak bangku kuliah :)
Iyah iki, bener hehehe
|
hensamfamily wrote on Aug 5
iya...aku juga udah ngincer yang ini.
uhh Dani, selalu terdepan. Udah ngereview aja. thumbs up! |
hensamfamily said
iya...aku juga udah ngincer yang ini.uhh Dani, selalu terdepan. Udah ngereview aja. thumbs up!
heleeeeehhh...bilang aja Abi atuut dapet buku jelek hahahahah *soale nggak obral hahahah* -- sotoi --
Mbeli ya, Biiii :D |
hensamfamily said
iya...aku juga udah ngincer yang ini.uhh Dani, selalu terdepan. Udah ngereview aja. thumbs up!
emang bener nih komen bang hendra. Dani selalu yang terdepan!
|
darnia said
komersialisasi karya, terutama prosa, membuat para pelajar dab penikmat
sastra tidak lagi memiliki keinginan untuk mengetahui hal-hal yang
abstrak dan idealis. Hal itu bisa ditengok dari banyaknya sastra pop
yang populer saat ini. Enggak terlalu banyak bikin mikir, enteng dan
(kadangkala) tanpa kesan setelah membaca.
nget nget ba ba
nget nget ba ba |
anchaanwar wrote on Aug 6
Eh gw ada ebooknya ini. Kumcer terbaik 2011, cuma sampulnya kok beda ya.
yg gw punya warna merah. Apa beda ya? Cerita pertamanya apa Dan? |
anchaanwar said
Eh gw ada ebooknya ini. Kumcer terbaik 2011, cuma sampulnya kok beda ya.yg gw punya warna merah. Apa beda ya? Cerita pertamanya apa Dan?
Emasa????
Mau dong!! *jadi inget utang ebook sama Ancha* Ini cerita pertamanya Salawat Dedaunan |
anchaanwar wrote on Aug 6
darnia said
Emasa????Mau dong!! *jadi inget utang ebook sama Ancha*
Nanti gw kirimin.
Tapi formatnya epub. semoga ga bikin lo ingat dengan iphone lo ya :'( Masalah ebook, gw sdh dikirimin Echan Dan, jadi ga usah. Thanks anyway |
anchaanwar said
Nanti gw kirimin.Tapi formatnya epub. semoga ga bikin lo ingat dengan iphone lo ya :'( Masalah ebook, gw sdh dikirimin Echan Dan, jadi ga usah. Thanks anyway
waaah...tetep gak bisa buka, Cha
hahahahhaha gw gak lupa, tapi enggak mewek lagi XD *puk puk* |
theokaraeng said
cerpen2 kompas memang yahud! saya paling ngefens ama cerpennya SGA..
SGA memang penggemarnya banyak :D
kalo dari Kumcer yang ini paling suka sama cerpen Gus TF Sakai sama yang "Ikan Kaleng" nampol banget :> |